“Rasanya ingin mati saja,” kata Cici kepada Mutiara Rabu (28/5) di rumahnya sambil membayangkan peristiwa yang dialaminya ketika ia hamil depalan bulan, Juni 1996.1 Cici sendiri datang ke Puskesmas di kampungnya itu karena janin yang dikandungnya bergerak-gerak.
Rupanya sampai sekarang sejak ia pulang dari Riau (Oktober 1993) Cici tetap dirundung malang. Dalam suatu tes tanpa asas konfidensialitas (nama yang yang mengikuti tes tidak dirahasiakan dan tanpa prosedur konseling pra dan pasca tes) di kalangan wanita berisiko tinggi di wilayah Kepulauan Riau, Cici dan dua wanita lain yang juga asal Kabupaten Karawang dinyatakan positif mengidap HIV (Human Immunodeficiency Virus), virus penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome, suatu sindrom penurunan kekebalan tubuh sehingga mudah diserang berbagai macam penyakit)."
Diramaikan Media Massa
Berita hasil tes HIV Cici dan pemulangannya dari Riau ke kampung halamannya pun meramaikan halaman surat-surat kabar nasional dan televisi swasta nasional yang bersumber dari seroang dokter kepala sebuah Puskesmas di Kabupaten Karawang berdasarkan radiogram yang dikirimkan Dinas Kesehatan Riau.
Berita-berita itu dinilai Cici tidak objektif, karena menurut Cici, ia tidak pernah diwawancarai wartawan. Di samping itu ketika media cetak yang memuat berita tersebut beredar dan tatkala televisi menyiarkan beritanya, ia masih di Riau. Makanya, ketika Mutiara mewawancarainya (April 1994) ia pun mengeluh atas pemberitaan tentang dirinya (Mutiara, 709/Mei 1994). Berita itu membuat penduduk di sekitar rumahnya mencibir dan melihatnya sebagai sumber malapetaka.
Judul berita-berita itu sendiri amat menohok karena menyebutnya sebagai penderita AIDS. Padahal, saat itu Cici baru pada tahap seropositif, artinya baru terinfeksi HIV, belum sampai pada tahap AIDS sehingga tidak ada tanda-tanda khusus pada dirinya.
Tapi, karena pengetahuan masyarakat dan aparat pemda setempat yang amat dangkal tentang HIV/AIDS dan pemberitaan yang tidak objektif itu, penduduk pun tetap melihatnya sebagai sumber bencana sehingga penduduk memilih untuk tidak bersahabat dengannya. Soalnya, karena informasi tentang HIV/AIDS yang tidak objektif membuat banyak orang ketakutan.
Padahal, virus AIDS hanya bisa tertular melalui hubungan seksual (homoseksual dan heteroseksual) yang tidak aman, melalui transfusi darah yang sudah tercemar HIV, dan melalui pemakaian alat-alat suntik bersama yang sudah terkontaminasi HIV, serta ibu yang positif HIV kepada bayi yang dikandungnya. Jadi, sebenarnya tidak ada alasan untuk mengucilkan Cici.
Dimusuhi
Cici sendiri bersedia pulang dari Riau, setelah dinyatakan positif HIV, karena ia ingin melihat anaknya yang ditinggalkannya sejak ia diajak seorang wanita dari Cikampek ke Riau dengan janji dipekerjakan di restoran dengan upah Rp 400.000 sebulan. Ketika itu (1992) Cici terpaksa mengikuti ajakan wanita itu karena ia mengaku amat bingung mencari nafkah utnuk anaknya, yang ketika itu berumur tiga tahun, setelah bercerai. Waktu itu ia dan anaknya tinggal bersama ibunya, yang juga janda, serta kakek dan neneknya yang berumur 60-an tahun.
Cici hanya bisa mengurut dada menghadapi perlakuan penduduk dan aparat pemerintah, mulai dari tingkat desa sampai provinsi. Bahkan ketika ia sampai di kampugnya petugas dari Dinas Kesehatan setempat memaksanya, dengan bantuan tenaga Muspika setempat, untuk memeriksakan darah di Puskesmas. Semula Cici menolak karena ia hanya mau diperiksa di “Citpo” (maksudnya RSCM-Red.), tapi karena ptugas yang mengambil darahnya ketika itu mengaku dari “Cipto” Cici pun bersedia diambil darahnya.
Namun, pengambilan darah itu jelas melanggar hak asasi manusia (HAM) karena mengabaikan asas konfidensialitas. Seharusnya ada konseling prates dan yang mengetahuinya hanya dokter atau konselornya dan Cici sendiri. Tapi, yang terjadi justru orang sekampung mengetahui persoalan yang dihadapi Cici ketika digiring ke Puskesmas.
“Seharusnya ‘kan tidak boleh disebarluaskan,” kata Cici tentang kondisi kesehatannya. Memang, secara etis dan hukum catatan medis (medical record) seseorang tidak boleh disebarluaskan. Namun, perlakuan yang dialami Cici justru sangat tidak etis karena aparat pemerintah dan pihak Puskesmas setempat sudah menciptakan suatu kondisi yang memojokkan Cici. Kalau aparat dan Puskesmas lebih arif, tentulah Cici tidak akan menghadapi masalah sosial dalam pergaulannya sehari-hari karena hubungan sosial bukan merupakan media penularan HIV.
Dinikahi WN Singapura
Di Riau sendiri, seperti diakuinya, ia sudah menjalin cinta dengan seorang lelaki Cina, 50-an tahun, warga negara Singapura. Makanya, ketika ia dipulangkan, lelaki itu tetap memburunya. Pada tahun 1994-1995 Cici empat kali diboyong lelaki itu ke Singapura dengan pesawat terbang dari Bandara Soekarno-Hatta. Saat itulah, menurut pengakuan Cici, mereka menikah. “Kami menikah di KUA (Kantor Urusan Agama-Red.) di Jakarta,” katanya sambil menyuapi putrinya yang lahir persis pada acara pembukaan Olimpiade Atlanta 1996.
Setelah diperiksa di Puskesmas ketika ia hamil delapan bulan itu rupanya dokter itu masih penasaran karena di catatan mereka, tampaknya, nama Cici tercantum sebagai “kasus”. Makanya, dokter itu pun membawa Cici ke rumahnya dan menginterogasinya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dokter itu, seperti dikemukakan Cici, mengarah ke perilaku seksualnya. Cici sendiri mengaku jengkel menerima perlakuan-perlakuan itu karena kehamilannya itu bisa dipertanggung jawabkannya, “Bayi ini ada ayahnya,” kata Cici sambil mengelus-elus perutnya yang buncit ketika itu. Makanya, Cici amat kecewa dan marah ketika perutnya mual-mual dan ingin muntah setelah memakan obat dari Puskesmas tatkala ia hamil.
Pihak Puskesmas setempat akhirnya membawanya ke RSCM. Setelah diperiksa Cici dibawa ke Yayasan Pelita Ilmu (YPI), sebuah LSM yang bergerak dalam penanggulangan HIV/AIDS di Jakarta. Selama menunggu persalinan, Cici tinggal di sanggar YPI dan ditangani dokter-dokter yang memang pakar HIV/AIDS, seperti dr. Zubairi Djoerban, DSPD, dan dr. Samsuridjal Djauzi, DSPD. Persalinan Cici sendiri ditangani dr. Siti Dhyanti Wishnuwardhani, spesialis obstetri dan ginekologi di FK UI/RSCM.
Setelah tujuh hari dirawat di RSCM Cici pulang bersama bayinya yang sudah dinamai oleh dokter Siti. Pihak YPI sendiri terus menangani Cici dan putrinya yang sudah positif HIV. Sayang, sampai sekarang Cici tidak melihat HIV sebagai ancaman terhadap dirinya karena, “Saya tidak pernah sakit,” katanya. Begitu pula dengan putrinya yang kini hampir berumur satu tahun dan sudah mulai bisa berjalan. Berat badannya 9,8 kg dan, “Tidak pernah sakit,” ujar Cici dengan bangga. Setiap pagi anaknya menghabiskan semangkok bubur nasi dengan hati ayam.
Pergelutan
Kondisi ini lagi-lagi terbentuk karena format penulisan berita yang sering tidak komprehensif. Bagi banyak orang, sakit berarti ada keluhan, sedangkan HIV bahkan AIDS sebelum tahap full-blown (sudah menampakkan gejala-gejala khas penurunan kekebalan tubuh) hampir tidak menunjukkan gejala penyakit. AIDS sendiri bukanlah penyakit, tapi merupakan istilah yang disepakati untuk menyebutkan kondisi penurunan kekebalan tubuh karena diserang HIV, sehingga yang mematikan penderita AIDS adalah infeksi-infeksi oportunistik, terutama diare dan TBC.
Berkat uang yang diberikan suaminya yang datang setiap lima bulan menemui Cici dan putrinya, wanita itu pun bisa membeli sebidang tanah dan membangun sebuah rumah permanen di dekat rumah ibunya. Sedangkan rumahnya yang semula dibangunnya yang didiami kakek dan neneknya, juga di desa yang sama, sudah dijualnya. “Ya, dari uang yang saya kumpul-kumpullah,” katanya dengan logat Riau tentang biaya pembangunan rumah barunya itu.
Kini, kehidupan sehari-hari Cici dilaluinya dengan pergelutan menghadapi virus di tubuhnya sambil membesarkan putrinya, yang juga positif terinfeksi HIV. ***
M/Syaiful W. Harahap
* Naskah ini dimuat di Tabloid Mutiara No. 868, Tahun XXX, 10-16 Juni 1997 merupakan pemenang pertama lomba “Penulisan HIV/AIDS” yang diselenggarakan oleh PMP AIDS-LP3Y dan Ford Foundation priode 1997. Pemenang berhak atas hadiah meliput Kongres AIDS Internasional Asia dan Pasifik di Manila, Filipina, 22-27 Oktober 1997. Dewan juri terdiri atas Dr. Hudoyo Hupudio, MPH ( Ketua Yayasan Mitra Indonesia, Jakarta), Irwan Julianto, MPH (wartawan senior Harian KOMPAS), dan Ashadi Siregar (Direktur LP3Y “Yogya” dan Penanggung Jawab PMP AIDS).
1). Cici sudah meninggal tahun 2000, meninggalkan seorang putri yang juga HIV-positif yang diasuh ibunya. Belakangan diketahui anaknya tidak tertular HIV (Lihat:http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/07/derita-panjang-seorang-odha/).
Syaiful W. Harahap
tags
Seed Newsvine
No comments:
Post a Comment