
Seorang rekan dari  luar Bali bertanya pada saya kemarin, benarkah di Bali ada leak yang  bisa terbang, berubah wujud dan bikin sakit orang sekampung seperti  dalam film calonarang? Saya jawab bahwa itu ranahnya para pakar leak,  yang sampai sekarang masih berkutat seputar berapa jeniskah macamnya  leak itu. Bagaimana mentranya, dan apakah leak boleh masuk tv atau ikut  dalam kerusuhan adat seperti yang marak terjadi belakangan di Bali.
Masalah terbesar bagi  Bali saat ini adalah daya dukung alamnya. Misalnya ketersiadaan air  bersih, penataan lingkungan serta serbuan pendatang yang seakan tak  terbendung. Dalam hal ketersiadaan air misalnya, Bali dengan kedatangan  turis sekitar 1 juta orang pertahun menghadapi masalah tersembunyi yang  sebenarnya amat dramatis dan tragis.
Seorang  turis perlu mandi 5 kali dalam sehari, pagi ketika bangun, siang  sebelum pergi makan siang, sore setelah pulang dari bepergian, malam  sebelum berangkat makan malam dan tengah malam setelah pulang dari  clubbing.Sekali mandi selama 10  menit mereka perlu sekitar 20 liter air, karena selain menggunakan  shower untuk pembilasan dan keramas, mereka juga perlu berendam dalam  bathtub. Dalam sehari seorang turis menghabiskan 100 liter air. Bila  mereka berlibur 10 hari maka perlu 1000 liter air. Kalau turis yang  berkunjung sekitar 1 juta pertahun maka air yang dihabiskan untuk mandi  saja sekitar 1 milyar liter.
Dan itu pasti air yang  terbuang percuma, karena tak banyak hotel, penginapan, guest house,  villa di Bali yang memperlakukan air dengan paripurna. Artinya mengolah  air untuk bisa dimanfaatkan kembali.  Ini baru benar benar  leak sungguhan, kalau dikonotasikan leak itu adalah mahluk jadi jadian  yang bisa membunuhi orang dengan mentra sakti dan racun tak berbau  berwarna dan berasa.
Selain air, masalah  besar bagi Bali adalah serbuan penduduk pendatang. Secara kasat mata di  kantong kantong dimana kepariwisataan berkembang, kepadatan mereka  sangat jelas adanya. Di Dalung misalnya yang penduduk aslinya sekitar  2.000 orang jumlah pendatangnya mencapai 20.000 orang. Karena di kawasan  itu terdapat perumahan yang penghuninya kebanyakan berdatangan dari  luar Bali. Mereka memilih tinggal di tempat itu karena harga rumahnya  murah dan tidak terlampau jauh dari Denpasar, Kuta, Sanur dan Nusa Dua.
Pendatang yang tinggal  di perumahan jenis ini termasuk yang kelas menengah, artinya mereka  punya pekerjaan entah jadi tukang masak di hotel, tukang listrik ataupun  yang setingkat menejer dan supervisor. Yang datang tanpa skill, hanya  mengandalkan nekat dan sekedar keluar dari kampunya justru lebih banyak  lagi.
Bila  saja mereka tinggal di perumahan murah atau setingkat BTN atau RSS  tentu tidak masalah. Kebanyakan mereka tinggal di rumah rumah penduduk  yang disulap ala kadarnya menjadi tempat hunian yang sangat sederhana.  Pekerjaan yang bisa dilakukan oleh penduduk pendatang tanpa skill ini  juga mengenaskan. Mulai dari sekedar jadi pemulung, mengais sampah dari  pagi sampai malam. Atau menjadi kuli bangunan dengan imbalan yang jauh  dari pemenuhan kebutuhan harian mereka.Selain itu kehadiran  pendatang jenis ini juga menimbulkan dampak lain, yakni tingginya  tingkat kriminalitas. Karena bagi mereka untuk bisa hidup dan sekedar  makan mereka tak tanggung tanggung merampok atau mencuri di perumahan  yang ditinggal pergi oleh penghuninya.
Di beberapa kawasan  selain menimbulkan kekumuhan, mereka juga membawa aneka macam penyakit  masyarakat seperti pelacuran dan perjudian. Pertanyaannya adalah,  bagaimana tanggung jawab pemerintah di tempat asal para pendatang ini  yang kebanyakan dari Jawa Timur, seperti Lumajang, Jember, Banyuwangi,  Malang dan sekitarnya.
Pemda Bali sendiri  tentu sangat kewalahan dengan arus pendatang yang super dahsyat itu.  Mereka bukannya angkat tangan dan tidak peduli, karena mereka sendiri  sudah sangat sibuk dengan urusan penduduk Bali sendiri yang menurut  angka statistik sekitar 166.000 KK masih berada di bawah garis  kemiskinan.
Masalah pemerataan  kemakmuran di Bali juga masalah yang sangat pelik disamping urusan air,  penduduk pendatang. Tak jauh dari kawasan wisata seperti Ubud, Sanur  atau Nusa Dua yang konon sudah termasuk kategori makmur, kita akan  dijebak oleh pemandangan yang memiriskan hati. Banyak penduduk yang  rumahnya hampir rubuh karena berupa rumah gedek dan berlantai tanah.  Pemda memberikan bantuan untuk renovasi rumah penduduk miskin tapi  jumlahnya tidak memadai.
Di  Sayan Gianyar, yang jaraknya sekitar 3 km saja dari Ubud yang makmur,  kita masih bisa temukan penduduk yang tinggal di gubuk sederhana, begitu  juga di Lungsiakan, Payogan atau di Bangkiang Sidem. Mereka bekerja  sebagai buruh tani dengan penghasilan Rp 600 ribu untuk satu musim  panen, atau setara dengan Rp 200.000 sebulannya. Dalam keadaan yang  begitu pak tani kita mesti merogoh kocek Rp 8.000 untuk sekilo beras, Rp  4.000 untuk sebiji ikan pindang dan Rp 2.000 untuk seikat sayuran.Penghasilan sebulannya  hanya cukup untuk biaya hidup selama seminggu. Tapi mereka melakukannya  dengan penuh semangat tak pernah mengeluh atau menggugat para  pemimpinnya yang semestinya ikut bertanggung jawab untuk itu. Karena  pemimpin yang baik adalah yang mampu meningkatkan kesejahtraan  rakyatnya, yang menjamin keamanan kenyamanan hidup mereka dan yang mampu  memberikan lapangan pekerjaan serta jaminan kesehatan.
Jadi leak, mentra  mentra kesaktian itu hanya sesuatu yang di awang awang bagi kebanyakan  penduduk di Bali. Leak itu hanya urusan mereka yang tidak punya  pekerjaan, leak yang sesungguhnya adalah seputar ketersediaan air,  lingkungan kumuh, penduduk pendatang dan pemerataan yang belum merata.  Inilah keseharian yang mesti dipecahkan oleh Gubernur, Bupati, Camat,  Lurah dan Anggota Dewan yang terhormat di Bali.
No comments:
Post a Comment