Wednesday, September 21, 2011

Pejabat “Ecek-ecek” di Sekitar Kita

1316574932763976280
Ill. From Google
By. Julianto Simanjuntak***




” Ada yang masih sangat muda dan tak berpengalaman diangkat jadi sekjen hingga ketua Umum. Ada juga anak muda dan pandai bicara, tapi sakit mental dan tukang bohong diangkat jadi bendahara. Entah apa tujuannya? Mungkin supaya mudah mendapat “gizi” dari sana-sini? Mungkin saja. Tapi sayangnya mereka juga yang merusak nama baik organisasi.”
**********
Dalam percakapan sehari-hari warga Kota  Medan dimana Penulis dibesarkan, ada satu kata  terkenal yakni “ecek-ecek”. Artinya  tidak sungguh-sungguh, pura-pura,  kurang bermutu. Banyak masyarakat kecewa ketika menyadari pemimpin mereka ternyata tidak berkualitas. Jabatan tinggi, kualitas rendah. Posisi hebat, fungsi hanya seremonial saja. Pejabat karbitan.
Punya posisi atau jabatan tinggi di masyarakat tapi tidak bisa menjalankannya sungguh suatu hal mubazir. Bahkan tidak jarang pejabat ecek-ecek ini menjadi beban masyarakatnya. Contoh: Gubernur atau Bupatinya menjadi tersangka lalu di penjara. Malukan warga kotanya, dan buat resah aparat bawahan lainnya?
Pejabat ecek-ecek ini bisa kita jumpai dalam lembaga eksekutif, judikatif dan legislatif. Mereka menjabat bukan karena kemampuan atau profesionalitas mereka. Tapi karena dekat dengan penguasa, menyuap, atau membeli jabatan.
Pemimpin ecek-ecek juga bisa kita jumpai di lembaga sosial keagamaan. Ada semacam satu kebiasaan pejabat negara atau swasta sering ditawarkan  menduduki jabatan penting di lembaga-lembaga  sosial dan keagamaan. Tak jarang mereka jadi ketua atau pembina. Padahal kompetensinya di bidang itu tidak ada.
Tak jarang pula kita jumpai istri atau anak sang pejabat yang mendudukinya. Mereka mendapat posisi terhormat itu bukan karena  kapasitas atau kemampuannya tapi karena popularitas dan kekuasaan sang Ayah. Mereka Masih sangat muda dan tak berpengalaman tapi bisa jadi sekjen hingga ketua organisasi. Masih muda sudah Diangkat jadi bendahara, tapi kemudian merusak nama baik organisasi. Entah apa tujuannya? Mungkin supaya mereka mudah mendapat bantuan atau “gizi” dari sana-sini? Mungkin saja.
Posisi dan Fungsi
Setiap posisi jabatan ada konsekuensinya. Dia harus bisa berfungsi menjalankan posisi itu. Masalahnya banyak dari mereka asal  menerima tawaran itu tanpa memikirkan konsekuensinya. Bayangkan saja menjadi ketua di lembaga keagamaan sementara orang banyak tahu bahwa dia adalah pemimpin yang kotor di kantor. Belum lama seorang direksi Bank Nasional masuk penjara karena kasus korupsi puluhan milyar, sementara di rumah ibadahnya dia adalah Ketua. Tentu ini menjadi batu sandungan bagi umat.
Rupanya ada orang yang suka menerima jabatan ini dan itu ( meski tidak kerja dengan baik) untuk menambah CV. Jadi lebih panjang dan tampak keren. Dengan banyak menjabat ini dan itu bisa menjadi batu loncatan ke jabatan strategis lainnya. Misal, jadi anggota Dewan, Bupati hingga jabatan lebih tinggi.
Ironisnya, sampai jabatan lima tahun, sang pemimpin itu hanya datang rapat setahun sekali, bahkan datang hanya pada saat pembubaran pengurus lima tahunan. Setelah dievaluasi  ybs  tidak memberi sumbangsih apapun kecuali hanya memberi kata sambutan. Lihat saja saat rapar paripurna DPR. Kita mendapatkan berita tentang tingginya angka absensi mereka. Apakah karena lebih memilih sibuk menjalankan bisnis diluar…? Entahlah.
Pemimpin Mubazir
Jika saudara ditawarkan posisi jabatan apapun baik di lembaga  negara, lembaga sosial atau agama, pertimbangkanlah dengan serius. Jangan menjadi pemimpin “ecek-ecek”, mubazir ahh.
Menjadi pejabat tanpa manfaat  hanya menjadikan Anda seorang pemimpin yang menjadi batu sandungan. Menjadi diri berbohong. Merasa sanggup mengemban jabatan itu padahal sebenarnya tidak. Jauh lebih baik tawarkan  jabatan itu kepada mereka yang lebih mampu dan layak.
Jabatan adalah amanah. Bukan hanya untuk menyenangkan manusia, tetapi juga menyenangkan Tuhan. Karena itu sebelum menerima tawaran jabatan ini dan itu, pertimbangkan dengan seksama. Apa motivasi Anda mendudukinya? Apakah anda sanggup menjalankannya? Apakah jabatan yang tinggi dan hebat itu membangun keluarga dan perkawinan Anda? Jika tidak, lebih baik berikanlah kepada orang yang lebih layak.
Semoga bermanfaat
JS

Lulusan PhD Memilih Jadi Guru SD


HL Kompasiana & Kompas Sungguh Tidak Populer

No comments:

Post a Comment