Sunday, April 24, 2011

In The End Of Newspapers?

13026176491908386351
Newspaper boy(bytypesets.wikidotdotcom)
Menurut pandangan umum sekarang ini  internet adalah penyebab kehancuran dari keuntungan media cetak tradisional seperti koran. Kita lihat dimana-mana seperti di AS dimana satu persatu media cetak mengalami krisis. PHK sudah menjadi sangat lumrah bagi mereka yang bekerja di bidang ini. Sedangkan para IT, computer designer, dan programmers menjadi komoditi yang sangat berharga.
Apakah Internet benar-benar adalah biang keladinya?
Phenomena ini sangat lah menarik, dan sangat  penting untuk diteliti lebih lanjut.
Menurut Michael Moore, seorang pembuat film, lahir 23 April 1954, salah satu film terkenal nya adalah Fahrenheit 9/11, mengatakan, alasan yang sederhana kenapa kehancuran media massa dan cetak adalah KESERAKAHAN SEMATA.
Dia mengatakan, “Bukan Internet yang menghancurkan dan mebunuh media cetak, sebaliknya Keserakahan Korporasi yang memiliki media massa dan cetak sekarang ini.”
“Surat Kabar telah membunuh dirinya sendiri. Kenapa? Lalu dia melanjutkan, “Surat kabar dijual kepada korporasi dalam beberapa tahun lalu, dengan hanya mementingkan keuntungan semata, dan telah jelas-jelas mengorbankan pengumpulan berita.  Dengan fundametal bisnis ini membuat surat kabar hanya mengejar oplah dan advertasing saja, dimana pemilik surat kabar ini mulai mengabaikan Basic Principles yaitu True Economics Base and Core Contituency.”
Seperti terjadi di Detroit, MI, dimana pemilik surat kabar memecat salah satu wartawan seniornya, karena meliput dan memberikan reportese mengenai keadaan yang menyangkut masyarakat lokal dan kejadian yang sebenarnya di kota Detroit. Dan masih banyak lagi kasus yang terjadi melanda seluruh media cetak, khususnya di Amerika.
Jika berita yang tidak menguntungkan tidak lah menjadi sesuatu yang penting lagi. Sehingga dalam pengambilan keputusan para executive mulai memotong anggaran yang semestinya untuk berita penting penduduk lokal, seperti buku, sosial, pendidikan, lokal reportese, dan pekerjaan buat warga setempat. Yang menjadi trend sekarang ini adalah “Entrepreneurial Journalism”.
Lalu siapa yang mendapatkan keuntungan? Tentu saja para excutive dan korporasi. Obesesi ini dengan keinginan mengejar Profit semata yang medorong ketidak adanya singkronisasi antara penduduk lokal dan media cetak lagi.
Bahaya yang mengerikan bagi Media Massa dan Cetak
Oleh sebab itu banyak pembicaraan mengenai pemerintah harus menolong media cetak dari kehancuran yang tak terelakan ini.
Tetapi dalam kenyataannya sebagian Media Massa dan Cetak yang ada mendorong mereka sendiri kekehancuran, dengan mengganti filisofi yang dulu dengan filisofi pencaharian keuntungan sebesar-besarnya. Dengan filisofi yang baru ini membuat mereka mengurangi biro khusus, investigatif reportese, real on the scene reportese (TKP), pendidikan dan keselamatan untuk baryi, anak-anak dan kaum muda, kesehatan anak dan ibu.
Seperti di Indonesia, phenomena sudah terjadi. dengan masuknya media korporasi dari seluruh dunia menanamkan modalnya dan mulai mengatur dan merubah kebijaksanaan tata cara dan filosofi media cetak yang ada.
Perlu dingat di dunia sekarang ini hanya sekitar 10 korporasi media yang memegang kendali terhadap apa yang menguntungkan apa yang tidak di media massa dan cetak di dunia.
Selaku pembaca, pertanyaannya adalah Apa Yang Anda Inginkan?
Korporasi2 ini memiliki filosofi yang berbeda dengan filosofi dasar dari media umum. Dan mereka berusaha sekuat tenaga untuk menjaga status QUO, dimana berita yang sebenarnya tidak lagi menjadi relevan.
Oleh sebab itu sangat menyedihkan sekali banyak orang lebih menyukai bloger-bloger dan berita Internet, seperti Kompasiana, IReport from CNN, Blogger dari jurnalis tanpa profit semata.
Perdebatan mengenai Internet versus media cetak mainsteam adalah KOBOHONGAN DI SIANG BOLONG alias PEPESAN KOSONG saja.
Kenapa?
Karena pembaca merindukan berita yang akurat, yang bisa dipercaya, yang jujur, dan jelas. Bukan hanya lips service atau sudah dipoles belaka.
Seperti contoh yang jelas dalam reportese di Indonesia, kebanyakan selalu ditutup-tutupi dengan menggunakan kata-kata cliche, seperti “OKNUM”instead nama siapa yang jelas, JS instead Jack Soetopo, GS instead Gondoruwo SetanAdalagi berita mengenai sekolah yang rusak tida terurus tanpa memberikan nama siapa yang menjadi kepala sekolahnya, dan menanyakan langsung ke Kakanwil atau mungkin ke menteri Pendidikan. Mengenai pungli di jalan-jalan, dimana berita hanya menggunakan nama Oknum, padahal jika reporter yang berani, mereka menanyakan langsung kepada Komandan Polisi yang ada ditempat saat itu. Kalau perlu membuat investigasi reportese mengenai masalah yang merisaukan masyarakat. Tetap dengan alasan yang tidak masuk diakal, seperti tidak ada dana, tidak mau menggangu, atau sungkan.
Ini telah terjadi semua bidang, seperti Universitas, berita kesehatan, perlindungan anak-anak dan perempuan, TKI, luar negeri, daerah-daerah terpencil, pertanian, dan luar negeri. Sehingga wartawan yang ada hanya menjadi COPAS, atau menunggu berita yang masuk atau menerima berita saja (paper pusher). Dan sedihnya menjadikan Media massa dan cetak menjadi media gosip belaka tidak ada substansi nya lagi, karena hanya mengejar sensasi, dan keuntungan semata.
Semoga kita semua sebagai jurnalis warga mendukung keterbukaan dari media masa, dan media cetak dari kelalaian ini.

diambil dari banyak sumber georgewashingtonblog, CNN. Fox, Washingtonpost, DetroitNewslanjutan dari mini seri “Perjalanan hidup tukang becak



No comments:

Post a Comment