Thursday, December 29, 2011

Wartawan “Ngamplop” Enggak Usah Bicara Kompetensi

Wartawan “Ngamplop” Enggak Usah Bicara Kompetensi: "Kini sedang hangat di kalangan jurnalis bicara soal kompetensi. Sekarang wartawan rupanya serupa guru dan dosen, mesti berkompeten. Kalau tak berkompeten, tak layak jadi wartawan. Buat saya, ini menyederhanakan masalah. Tapi, soal uji kompetensi ini saya sepakat. Wartawan memang harus profesional karena tugasnya memang khas. Ia harus bisa mewawancarai narasumber dengan baik, menulis dengan bagus, cover both sides, konfirmasi, dan sebagainya. Semua saya setuju.

Namun, jangan sampai cuma gara-gara kompetensi, narasumber berhak menolak wartawan yang belum punya sertifikat kompetensi. Beberapa hal di bawah ini adalah catatan soal polemik uji kompetensi wartawan."

Pertama, jurnalis kita masih suka ngamplop.
Sebagian besar wartawan barangkali permisif terhadap amplop. Bukan amplop dalam artian sebenarnya. Ini menunjukkan pemberian dari narasumber, pemda, baik terkait maupun tidak soal pemberitaan. Kalau wartawan kita masih suka menerima amplop, jauh banget dari kompetensi.

Soal menulis, cover both sides, konfirmasi, saya yakin itu bisa diajarkan dalam–paling lama-sebulan. Tapi soal watak, karakter, kepribadian, butuh waktu lama. Naif sekali kalau ada jurnalis sudah lama bekerja dan menyandang wartawan berkompetensi tapi suka ngamplop, menerima bantuan sosial dari pemda, naik haji atas uang APBD, berkait mengait dengan partai, dan sebagainya. Buat saya, orang semacam itu bukan jurnalis berkompetensi. Sikap yang mesti dibenahi Dewan Pers, organisasi profesi pers, dan media massa.

Maka, menjadi heran kalau ada organisasi kewartawanan masih gagap menjawab saat ditanya soal amplop. Bukan menjawab, malah ngeles dengan mengatakan itu sikap masing-masing wartawan dan medianya. Kalau jawaban semacam itu dan orangnya ngotot bicara kompetensi, capek deh! Organisasi profesi dibentuk ya untuk membina wartawan. Selain teknis jurnalistik, juga soal independensi dan sikap. Salah satunya antiamplop, antisuap, antikorupsi. Kalau di organisasi profesi persnya tidak ada diskursus soal itu, bubarkan saja organisasinya!

Yang parah kalau ada organisasi kewartawanan setiap tahun dipasok duit dari APBD. Bagaimana mau bicara kompetensi, tapi dapurnya dikebuli narasumber yang rentan menyeleweng.

Kedua, banyak media tak menggaji layak wartawannya.
Kalau ada media yang tak menggaji karyawannya secara layak, juga tak layak bicara kompetensi. Benahi dulu manajemennya, baru bicara kompetensi. Bagaimana wartawannya mau berkompeten kalau sehari-hari mesti mencari seseran untuk keluarga. Ujung-ujungnya ya ngamplop. Ia tak bakal berlaku profesional andai independensinya sudah terganggu dengan duit yang diterima dari narasumber. Bagaimana mau menulis yang bagus, mendalam, investigatif kalau kantongnya sudah diracun suap dari narasumber.

Saya sepakat ada ambang minimal modal buat pengusaha yang mau membuat media massa, koran misalnya. Kalau dananya cuma cukup buat ongkos cetak tanpa mengalokasikan gaji buat wartawan, lebih baik media itu dilarang terbit. Ketimbang menambah permasalahan jurnalisme di lapangan, lebih baik sekalian tidak usah terbit.
Bos media wajib mengalokasikan gaji yang layak buat wartawannya. Pos ini harus dihitung juga sebagai bagian dari produksi. Dengan gaji yang layak, kans mendapatkan karya jurnalistik yang bermutu akan semakin besar.

Salah besar kalau berpendapat wartwan tak usah digaji karena setiap hari dapat amplop. Praktik itu tidak benar sama sekali. Tidak menggaji wartawan sama artinya dengan menghasilkan pemeras-pemeras baru. Dan kondisi itu makin mencemarkan nama baik wartawan. Kasihan jurnalis yang sungguh-sungguh bekerja dan cuma menerima gaji dari kantor.

Gara-gara ulah wartawan tak bermoral, jurnalis yang sebenarnya malah terkena getahnya. Lantaran perilaku wartawan amplop, jurnalis idealis makin terpinggirkan.

Ketiga, lebih baik berhenti daripada jadi pemeras.
Jurnalis yang bekerja pada media yang baik secara modal dan idealisme memang enak. Tempatnya bekerja memberikan gaji yang cukup untuk diri dan keluarga. Ia pun leluasa bekerja dan membangun jaringan dengan siapa saja. Dan tentu saja tetap menjaga idealismenya.

Akan tetapi buat jurnalis yang punya idealisme tetapi berada pada media yang tak menggaji, lebih baik mundur. Mengapa? Sebab, suatu waktu, saat kondisi mendesak, idealismenya bisa tergadai dengan menerima duit dari narasumber. Yang parah, menjadi bagian dari kelompok wartawan yang suka memeras narasumber atau korporasi tertentu. Andaikata saya menjadi penguji dalam uji kompetensi, pasti saya tanya, “Anda dari media mana?”

Kalau media yang disebut peserta tesnya bukan media bonafide dan tak menggaji wartawan, ujian selesai sampai di situ. Wartawan tak berhak punya sertifikat semacam itu. Medianya tak menggaji, wartawannya rentan menerima suap. Sebelum mengetes skill jurnalistiknya, itu dulu yang ditanya. Soal menulis, mengedit, konfirmasi, cover both sides, dan lain sebagainya bisa dipelajari. Tetapi menjadikan seorang wartawan menjadi jurnalis yang punya integritas, butuh waktu yang lama. Dan andai kita tak siap dari sisi mental, ketimbang menjadi pemeras dengan berbalut jurnalisme, lebih baik mundur. Sekarang juga!



'via Blog this'

No comments:

Post a Comment