Thursday, October 6, 2011

Leak Bali By Wayan Budiatha

1317953027912948940
Seorang rekan dari luar Bali bertanya pada saya kemarin, benarkah di Bali ada leak yang bisa terbang, berubah wujud dan bikin sakit orang sekampung seperti dalam film calonarang? Saya jawab bahwa itu ranahnya para pakar leak, yang sampai sekarang masih berkutat seputar berapa jeniskah macamnya leak itu. Bagaimana mentranya, dan apakah leak boleh masuk tv atau ikut dalam kerusuhan adat seperti yang marak terjadi belakangan di Bali.

Masalah terbesar bagi Bali saat ini adalah daya dukung alamnya. Misalnya ketersiadaan air bersih, penataan lingkungan serta serbuan pendatang yang seakan tak terbendung. Dalam hal ketersiadaan air misalnya, Bali dengan kedatangan turis sekitar 1 juta orang pertahun menghadapi masalah tersembunyi yang sebenarnya amat dramatis dan tragis.
13179530521742562452Seorang turis perlu mandi 5 kali dalam sehari, pagi ketika bangun, siang sebelum pergi makan siang, sore setelah pulang dari bepergian, malam sebelum berangkat makan malam dan tengah malam setelah pulang dari clubbing.
Sekali mandi selama 10 menit mereka perlu sekitar 20 liter air, karena selain menggunakan shower untuk pembilasan dan keramas, mereka juga perlu berendam dalam bathtub. Dalam sehari seorang turis menghabiskan 100 liter air. Bila mereka berlibur 10 hari maka perlu 1000 liter air. Kalau turis yang berkunjung sekitar 1 juta pertahun maka air yang dihabiskan untuk mandi saja sekitar 1 milyar liter.
Dan itu pasti air yang terbuang percuma, karena tak banyak hotel, penginapan, guest house, villa di Bali yang memperlakukan air dengan paripurna. Artinya mengolah air untuk bisa dimanfaatkan kembali. Ini baru benar benar leak sungguhan, kalau dikonotasikan leak itu adalah mahluk jadi jadian yang bisa membunuhi orang dengan mentra sakti dan racun tak berbau berwarna dan berasa.
Selain air, masalah besar bagi Bali adalah serbuan penduduk pendatang. Secara kasat mata di kantong kantong dimana kepariwisataan berkembang, kepadatan mereka sangat jelas adanya. Di Dalung misalnya yang penduduk aslinya sekitar 2.000 orang jumlah pendatangnya mencapai 20.000 orang. Karena di kawasan itu terdapat perumahan yang penghuninya kebanyakan berdatangan dari luar Bali. Mereka memilih tinggal di tempat itu karena harga rumahnya murah dan tidak terlampau jauh dari Denpasar, Kuta, Sanur dan Nusa Dua.
Pendatang yang tinggal di perumahan jenis ini termasuk yang kelas menengah, artinya mereka punya pekerjaan entah jadi tukang masak di hotel, tukang listrik ataupun yang setingkat menejer dan supervisor. Yang datang tanpa skill, hanya mengandalkan nekat dan sekedar keluar dari kampunya justru lebih banyak lagi.
13179407641788133425Bila saja mereka tinggal di perumahan murah atau setingkat BTN atau RSS tentu tidak masalah. Kebanyakan mereka tinggal di rumah rumah penduduk yang disulap ala kadarnya menjadi tempat hunian yang sangat sederhana. Pekerjaan yang bisa dilakukan oleh penduduk pendatang tanpa skill ini juga mengenaskan. Mulai dari sekedar jadi pemulung, mengais sampah dari pagi sampai malam. Atau menjadi kuli bangunan dengan imbalan yang jauh dari pemenuhan kebutuhan harian mereka.
Selain itu kehadiran pendatang jenis ini juga menimbulkan dampak lain, yakni tingginya tingkat kriminalitas. Karena bagi mereka untuk bisa hidup dan sekedar makan mereka tak tanggung tanggung merampok atau mencuri di perumahan yang ditinggal pergi oleh penghuninya.
Di beberapa kawasan selain menimbulkan kekumuhan, mereka juga membawa aneka macam penyakit masyarakat seperti pelacuran dan perjudian. Pertanyaannya adalah, bagaimana tanggung jawab pemerintah di tempat asal para pendatang ini yang kebanyakan dari Jawa Timur, seperti Lumajang, Jember, Banyuwangi, Malang dan sekitarnya.
Pemda Bali sendiri tentu sangat kewalahan dengan arus pendatang yang super dahsyat itu. Mereka bukannya angkat tangan dan tidak peduli, karena mereka sendiri sudah sangat sibuk dengan urusan penduduk Bali sendiri yang menurut angka statistik sekitar 166.000 KK masih berada di bawah garis kemiskinan.
Masalah pemerataan kemakmuran di Bali juga masalah yang sangat pelik disamping urusan air, penduduk pendatang. Tak jauh dari kawasan wisata seperti Ubud, Sanur atau Nusa Dua yang konon sudah termasuk kategori makmur, kita akan dijebak oleh pemandangan yang memiriskan hati. Banyak penduduk yang rumahnya hampir rubuh karena berupa rumah gedek dan berlantai tanah. Pemda memberikan bantuan untuk renovasi rumah penduduk miskin tapi jumlahnya tidak memadai.
13179408041865775884Di Sayan Gianyar, yang jaraknya sekitar 3 km saja dari Ubud yang makmur, kita masih bisa temukan penduduk yang tinggal di gubuk sederhana, begitu juga di Lungsiakan, Payogan atau di Bangkiang Sidem. Mereka bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan Rp 600 ribu untuk satu musim panen, atau setara dengan Rp 200.000 sebulannya. Dalam keadaan yang begitu pak tani kita mesti merogoh kocek Rp 8.000 untuk sekilo beras, Rp 4.000 untuk sebiji ikan pindang dan Rp 2.000 untuk seikat sayuran.
Penghasilan sebulannya hanya cukup untuk biaya hidup selama seminggu. Tapi mereka melakukannya dengan penuh semangat tak pernah mengeluh atau menggugat para pemimpinnya yang semestinya ikut bertanggung jawab untuk itu. Karena pemimpin yang baik adalah yang mampu meningkatkan kesejahtraan rakyatnya, yang menjamin keamanan kenyamanan hidup mereka dan yang mampu memberikan lapangan pekerjaan serta jaminan kesehatan.
Jadi leak, mentra mentra kesaktian itu hanya sesuatu yang di awang awang bagi kebanyakan penduduk di Bali. Leak itu hanya urusan mereka yang tidak punya pekerjaan, leak yang sesungguhnya adalah seputar ketersediaan air, lingkungan kumuh, penduduk pendatang dan pemerataan yang belum merata. Inilah keseharian yang mesti dipecahkan oleh Gubernur, Bupati, Camat, Lurah dan Anggota Dewan yang terhormat di Bali.

No comments:

Post a Comment